Selasa, 05 November 2013

Me, You and Her


Buat Ify
Hai, Fy! Apa kabar? Gue harap lo baik-baik aja, ya!
Haha, basi banget ya bahasa gue? To the point aja, gue sadar, gue pengecut! Nggak berusaha buat memperbaiki apa yang harus gue perbaiki. Gue nggak berusaha buat melakukan apa yang harus gue lakukan. Gue terlalu takut, Fy, takut buat bilang sama lo. Gue takut, nanti akhirnya lo jauh dari gue. Gue mau jujur, gue masih sangat sayang sama lo. Di sini, di hati gue, Cuma nama lo yang terukir di sini.
Maaf. Maafin gue, karena selama ini gue nggak pernah berusaha peka ke lo. Maaf karena selama ini gue selalu maksa lo buat ngerasain sesak itu sendiri. Maafin gue karena sifat egois gue, yang selama ini selalu ngekang lo buat bergaul dengan cowok lain selain gue. Maafin gue karena sifat care gue malah jadi beban buat lo. Gue tahu, dalam diam lo, lo nahan sesak itu sendirian kan? Lo diem, karena lo nggak tahu apa yang harus lo lakuin kan? Maaf juga karena sifat emosional gue, lo yang selalu jadi korban. Lo selalu gue bentak, gue marah-marahin saat gue bad mood.
Makasih. Makasih buat pengertian lo selama ini. Lo selalu diem saat gue deket sama orang lain, padahal gue tahu, lo pasti sakit kan ngelihat itu? Makasih buat semua rasa bahagia yang lo ukir di hati gue. Lo tahu, gue selalu bahagia setiap lihat lo senyum, lo ketawa. Gue selalu bahagia setiap berada di deket lo. Gue sadar, selama ini gue udah jadi cowok yang nggak tahu diri! Gue udah punya lo, yang selalu ngalah buat gue, tapi gue malah nyimpen nama orang lain di hati gue.
Ini bukan kehendak gue, Fy. Gue nggak bisa ngontrol perasaan gue ke orang itu. Dia selalu buat gue seneng setiap ada di dekatnya. Dia selalu bikin gue serasa diperhatikan. Gue emang salah, gue emang bodoh. Ngelepas lo begitu aja demi orang yang gue tahu bahwa dia juga udah nyimpen nama orang lain di hatinya. Dan yang pasti, itu bukan gue.
Tolong kenang gue sebagai sahabat lo. Sahabat yang pernah ngisi hari-hari lo. Sahabat yang dengan kurang ajarnya udah ngerusak persahabatan kita dulu. Gue emang suka dia. Tapi gue nggak bisa menghapus nama lo di hati gue gitu aja. Lo yang udah banyak berkorban perasaan buat gue, bukan dia. Lo udah banyak makan hati kan karena gue? Maaf juga ya, karena secara nggak langsung gue udah bales dendam ke lo yang nggak ngerti apa-apa.
Seandainya lo tahu, gue di sini juga nyimpen nama lo, kenangan kita, dan pastinya lo. Di sini. Di hati gue.

Ify menyeka airmata yang berhasil mengotori pipinya dengan kasar. Ia lipat surat berwarna biru muda itu sembarang bentuk. Hati dan otaknya serasa penuh. Ia sudah tak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang. Matanya mulai buram tertutup airmata lagi. Ia tutup wajahnya dengan dua telapak tangannya. Airmatanya masih belum mau berhenti. Di tambah lagi, ia melihat orang-orang yang masih setia berlalu-lalang di depan posisi tempat duduknya sekarang. Rumah di depan sana masih penuh orang. Bendera putih masih berkibar-kibar tertiup angin. Dengan langkah pelan, Ia menuju ke tempat teman-temannya berada sekarang. Jujur, hatinya masih belum siap melihat seseorang yang masih ada di dalam hatinya kini terbaring kaku dengan wajah pucat.
Mata Ify terpaku pada sosok kaku yang kini sebagian wajahnya tampak. Perlahan ia melangkah maju, mendekati sosok yang pernah menjadi miliknya itu. Ia mengambil posisi tepat di sebelah kanan sosok kaku itu. Memandangi sosok itu sepuasnya. Mengamati setiap detail wajah tulus itu. Menatap sosok itu membuat Ify miris. Wajahnya teduh, terlihat tanpa beban. Ify menghela napas panjang, paru-parunya terasa sangat penuh sekarang.
Ify makin mendekat. Hingga bibirnya hanya berjarak 5 centi dari telinga sosok kaku tersebut.
“Kka, yang tenang di sana. Gue yakin, lo bakal dapet kebahagian yang paling bahagia di sana. Cari bidadari paling cantik di sana.” Ify terkekeh kecil.
“Tempat lo sekarang pasti enak banget ya, sampai wajah lo teduh banget. Semoga tempat baru lo bisa buat lo bahagia di sana.”
“Fy,” seseorang memegang bahu Ify. Terlihat seorang perempuan paruh baya tengah melempar senyum tulusnya ke arah Ify. Kerutan-kerutan di sekitar matanya makin terlihat, pasti ini akibat menangis tanpa henti. Beliau Mama Cakka. Beliau terlihat tegar, namun tatapan matanya tak bisa berbohong, bahwa beliau juga terguncang. Kehilangan anak bungsunya itu bukan hal yang mudah. Apalagi Cakka yang paling dekat dengan Mamanya daripada kakaknya yang lain.
“Ya, tante?” Ify bangkit, mengikuti langkah Mama Cakka.
“Ini tante temuin di kamar Cakka barusan.” Ify menerima benda yang sedari tadi berada dalam genggaman Mama Cakka.
Ify terkesiap. Gantungan kunci! Sekilas memang hanya gantungan kunci biasa, namun yang terukir di dalamnya lah, yang membuat jantung Ify berdetak tak karuan. Gantungan itu berbentuk angsa, terukir di dalamnya tulisan Bebek-Angsa. Matanya memanas. Bebek-angsa? Itu panggilan kesayangan Cakka dan Ify dulu sewaktu mereka masih menjalin hubungan.
“Tetap jadi Angsa Cantik di hati Cakka ya. Dan simpan Bebek Jelek di hati kamu. Tante lihat kok, kamu tulus sama Cakka. Jangan pernah berat ngelepas dia. Biarin dia tenang di sana, Nak.” Ify mengangguk pelan. Lidahnya masih kelu untuk berucap satu kata pun.
“Makasih, tante. Maaf, Ify pernah nyakitin anak tante.” Mama Cakka menggeleng sambil tersenyum lembut. Ia elus rambut Ify yang tertutup jilbab.
“Itu udah biasa, Fy. Harusnya tante yang minta maaf, tante baru kenal kamu sekarang. Jadi, kita baru bisa deket setelah Cakka nggak ada.” Hening. Hanya suara orang-orang yang membaca ayat suci Al-Qur’an yang terdengar di telinga Ify.
“Sebenarnya bukan hanya asma, Fy. Asmanya udah akut. Dia juga ngeyel, setiap tante minta dia buat berobat, dia pasti cari alasan yang kadang-kadang nggak masuk akal. Setiap tante minta dia buat istirahat, pasti kabur entah kemana sama kakaknya. Tapi, tahukah kamu, akhir-akhir ini dia jadi sering berobat sering istirahat. Ngurangi kegiatannya. Dan setiap tante tanya, dia Cuma jawab, ‘Cakka Cuma mau sehat, Ma. Cakka nggak mau ngecewain dia buat kedua kalinya.’ Dan tante langsung tahu, kamu yang buat dia kayak gitu.” Mama Cakka mengambil napas sebentar.
“Dia sering cerita tentang kamu ke kakaknya. Kadang juga ke tante, tapi tante nggak tahu detail. Tante juga tahu Sivia.” Ify langsung menatap mata orang tua Cakka. Sivia? Nama itu mendadak membuat matanya mengabur lagi.
“Tenang, Fy. Hatinya memang dipenuhi nama Sivia. Tapi jiwa dan pikirannya Cuma ada nama kamu, Fy.” Mama Cakka menepuk pundak Ify lembut, lalu meninggalkan Ify yang tenggelam dalam lamunannya.
Ify. Cakka. Sivia. 3 nama yang pernah membuat dunia Ify mendadak terbalik.

sumber

0 komentar:

Posting Komentar